American Dreams Bukan Mimpi Yang Sempurna
Setelah perang dunia ke-2 di Amerika Serikat, muncul sebuah fenomena budaya dimana anggapan masyarakat tentang kehidupan yang sempurna adalah ketika seorang perempuan dan laki-laki hidup berkeluarga dan tinggal di daerah suburban kota, dengan satu atau dua anak. Kebahagian seorang perempuan seolah ditentukan dengan adanya pernikahan dan adanya anak, bagi mereka yang tidak memiliki anak atau belum menikah dianggap sebagai perempuan yang ‘tidak lengkap’. Perempuan jadi mempunyai tujuan hidup yang sudah ditentukan oleh masyarakat lewat sebuah konstruksi sosial, yaitu menikah lalu menjadi istri dan ibu yang baik. Fenomena seperti ini disebut dengan ‘The American Dreams’ yaitu mimpi, harapan, dan pandangan masyarakat Amerika tentang apa yang dianggap kehidupan yang sempurna. Mimpi tentang kesempurnaan kehidupan berkeluarga yang muncul di Amerika ini kemudian dikritik oleh Betty Friedan lewat bukunya The Feminine Mystique, yang mana istilah Feminine Mystique mengacu pada ideologi perempuan-perempuan Amerika yang merasa satu-satunya cara mencapai kebahagiaan adalah dengan menikah dan mempunyai anak[1].
Kehidupan sempurna seperti yang diimpikan dalam American Dreams tidak hanya ditemui di Amerika pada masa setelah perang dunia ke-2, tetapi saat ini nyaris di semua belahan dunia negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak dari perempuan Indonesia pun masih mengganggap pernikahan sebagai sebuah tujuan hidup, bahkan dalam Islam diajarkan bahwa menikah adalah suatu ibadah dan kewajiban. Ada nilai-nilai yang diciptakan masyarakat lewat kebudayaan dan cara pandang yang dibangun dalam sebuah kebudayaan yang bertahan selama berabad-abad yang dihidupkan oleh ajaran-ajaran agama. Termasuk di Indonesia, perempuan dinyatakan mempunyai ‘kodrat’ untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik, seolah-olah tidak ada pilihan lain bagi perempuan dalam hidupnya. Terlebih lagi, seolah-olah menikah dan mempunyai anak adalah satu-satunya jalan kebahagiaan bagi perempuan.
Namun muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut; apakah perempuan tidak mempunyai pilihan lain dalam hidupnya selain menjadi seorang ibu dalam keluarga kecil yang bahagia? Apakah kebahagian seorang perempuan dapat ditentukan oleh masyarakat lewat hal-hal yang dinyatakan kodrati? Apakah identitas seorang perempuan cukup hanya seagai seorang istri dan atau ibu? Betty Friedan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat The Feminine Mystique dan menggugat konsep kesempurnaan di balik American Dream dengan sangat kritis. Friedan mengkritik American Dreams lewat dua aspek utama: sosial dan psikologis.
Dalam permasalah sosial American Dreams, Friedan menganggap adanya American Dreams yang dipopulerkan lewat majalah, pendidikan, iklan-iklan televisi, dan lain-lain adalah alat untuk mencuci otak perempuan atas peran-peran sosial yang harus dijalankan perempuan. Yang pertama adalah mengembalikan perempuan pada tempatnya bekerja ‘di dapur’ setelah semasa perang dunia ke-2 perempuan menguasai pekerjaan-pekerjaan pabrik agar laki-laki dapat kembali memiliki lahan pekerjaan setelah perang. Kedua, perempuan sebagai alat (konsumen) untuk mendukung kemajuan produk-produk rumah tangga di Amerika, sehingga memajukan perekonomian Amerika Serikat pasca perang.[2] Seperti apa yang dikemukakan Friedan; “In the fifteen years after World War II, this mystique of feminine fulfillment became the cherished and self-perpetuating core of contemporary American culture”[3] Dengan kembalinya perempuan bekerja ‘di dapur’ dan sebagai konsumen utama produk-produk rumah tangga baru yang populer di Amerika, maka perempuan sudah membantu melancarkan peranan-peranan sosial yang berlaku dalam masyarakat Amerika pada masa itu.
Selain kritik Friedan bahwa perempuan sudah diperalat sebagai alat untuk melengkapi pakem-pakem peranan sosial di Amerika, Friedan juga menekankan permasalahan prikologis perempuan lewat Feminine Mystique. Dikemukakan oleh Friedan bahwa banyak perempuan Amerika kehilangan arti hidupnya setelah menikah dan mengalami depresi berat. Hal ini dikarenakan, menurut Friedan, bahwa perempuan setelah menikah tidak lagi mempunyai obsesi dan tujuan hidup. Perempuan tidak lagi ‘mengejar’ suatu cita-cita karena ‘cita-cita’ yang ada dalam American Dream sudah tercapai, yaitu menjadi seorang istri dan ibu. Namun, Friedan mengemukakan bahwa rutinitas yang dihadapi oleh perempuan-perempuan itu membawa mereka pada kekosongan, sehingga ada kecenderungan untuk melarikan diri dari rutinitas atau berdiam diri di rumah dan mengalami depresi. Hal ini menunjukkan bahwa cita-cita atau tujuan perempuan yang hanya sebagai istri atau orang tua tidaklah cukup untuk membahagiakan perempuan.
Perempuan telah menjadi alat kebahagian, bukan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya diimpikan mereka, tetapi memberikan kelengkapan kebahagian bagi anak-anak dan suaminya. Hal ini ditunjukkan seorang perempuan dengan menjaga rumah agar tetap bersih dan indah, sementara anak-anaknya sekolah dan suaminya bekerja. Seorang perempuan dalam peranannya sebagai istri menurut American Dreams adalah menyiapkan dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya, seperti pakaian, bekal makanan, vitamin, dan lain-lain. Dengan catatan, untuk menjaga kelangsungan kebahagiaan keluarganya. Namun hal ini menjadikan perempuan melupakan kebahagiaannya sendiri. Hal ini disebut Friedan sebagai ‘masalah tanpa nama’ (the problem that has no name)[4]
Masalah identitas juga dikemukakan Friedan sebagai masalah psikologis perempuan; identitas perempuan sebagai seorang istri dan ibu adalah identitas perempuan sebagai pelengkap kebahagiaan, namun perempuan pada pada masa itu mengalami kekosongan dan eksistensinya sebagai seorang individu yang berarti tidaklah ada. Setelah menikah, seorang perempuan kehilangan identitasnya sebagai seorang pribadi, namun identitasnya beralih menjadi pelengkap keluarga, pendamping suami, dan ibu dari seorang anak. Perempuan kehilangan identitasnya sebagai seorang pribadi yang apa adanya, utuh tanpa pelengkap, dan idependen.
Selain menyalahkan media karena telah mencuci-otak perempuan-prempuan Amerika pada masa itu, Friedan juga melihat adanya peranan pendidikan dalam membiarkan ideologi ini tambah subur. Pendidikan dalam universitas lebih banyak menekankan agar perempuan siap untuk hidup di areal wilayah domestik tanpa memperdulikan kepandaian atau keahlian perempuan di bidang-bidang tertentu[5]. Film Monalisa Smile adalah contoh sebuah karya fiksi yang menunjukkan bagaimana perempuan pada masa itu diarahkan oleh pendidikan untuk berpikiran bahwa yang paling utama dalam kehidupan adalah mengejar American Dreams, dan bagaimana seorang guru yang berjiwa feminis berusaha mematahkan konvensi-konvensi tersebut yang ada dalam masyarakatnya.
Friedan prihatin dengan anggapan masyarakat pada masa itu yang melihat perempuan yang memberontak dari konstruksi ini sebagai korban dari pendidikan sehingga pendidikan dianggap sebagai penghancur feminitas perempuan:
It is not a matter of loss of feminity or too much education, or the demands of domesticity, It is far more important than anyone recognizes. It is the key to these other new and old problems which have been torturing women and their husbandand children for years. It may well be the key to our future as a nation and a culture.[6]
Melainkan, Friedan melihat bahwa hal ini merupakan permasalahan budaya yang tidak boleh ditinggalkan, karena bila permasalahan ini lebih diperhatikan, maka akan membawa Amerika ke arah yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.
Barker, Clive. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Kreasi Wacana, Yogyakarya, 2004.
“Betty Friedan”. Microsoft Encarta Encyclopedia. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Friedan, Betty. “The Feminine Mystique” Bahan Ajar Paradigma Feminis S1” Disusun oleh Gadis Arivia.
Tong, Rosemary Putnam. Feminist Thought. Terj. Aquarini Priatna Prabasmoro. Jalasutra, Yogyakarta,1998.
“Women Rights Movement”. Microsoft Encarta Encyclopedia. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[1] “The Feminine Mystique”. Bahan Ajar Paradikma Feminis S1. Disusun oleh Gadis Arivia. Hlm. 48-49.
[2] Ibid. Hlm 49.
[3] Ibid. Hlm 53.
[4] Ibid. Hlm 54.
[5] Ibid. Hlm 58.
[6] Ibid. Hlm 67.