This one is my favorite, I got an A too for this. Enjoy...
Fifth Semester
Literature Criticism Class
Mid-term test assignment
Jurnalisme Sastrawi:
Sebuah Sanggahan Terhadap Doktrin Obyektifitas Dalam Jurnalistik
Janet Steele, seorang sejarawan asal Amerika Serikat, baru-baru ini menerbitkan bukunya Wars Within: A Story of Tempo, an Independent Magazine, in Soeharto’s Indonesia. Dosen University of George Washington ini berbicara Bahasa Indonesia dengan sangat fasih dalam diskusi bukunya Kamis, 20 Oktober 2005 lalu di auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Diskusi yang membahas jurnalisme sastrawi ini berisi bagaimana Janet Steele melakukan penelitian dan bagaimana Ia membangun sebuah tulisan yang bersifat naratif dalam sebuah catatan sejarah faktual bergaya investigative journalism. Ketika sesi tanya-jawab dibuka, mencul pertanyaan-pertanyaan menyangkut fakta dan subyektifitas penulis dalam sebuah jurnalisme naratif. Salah satu penanya yang berasal dari sebuah surat kabar terkemuka bahkan mempermasalahkan penggunaan kata ‘konon’ dan ‘kabarnya’ dalam berita investigasi Janet Steele yang dianggap tidak mendukung fakta.
Fakta. Bertahun-tahun sepanjang sejarah jurnalisme dunia, kata ini diagung-agungkan seperti Tuhan. Kata kedua yang juga sama sakralnya adalah “Obyektifitas”. “Jurnalisme harus menyampaikan informasi yang FAKTUAL secara OBYEKTIF! Selepas dari itu, menyalahi kode etik jurnalisme,” demikianlah jargon yang umum saya temui dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik, baik sekedar ekstra kulikuler jurnalistik di sekolah menengah maupun seminar-seminar yang dihadiri oleh para jurnalis pentolan di Indonesia. Sengaja jargon itu saya cetak tebal dan garisbawahi dalam tulisan ini, untuk menekankan betapa hal itu selama bertahun-tahun telah mendoktrin otak saya (dan teman-teman saya yang bercita-cita jadi jurnalis) seperti Hitler mendoktrin pasukan NAZI-nya. “Kalaupun ingin memasukkan subyektifitas, jangan sampai ketahuan. Cukup sedikit saja di akhir untuk memberi bumbu pada artikel,” jelas Akmal Naseri Basral, wartawan majalah Tempo yang dulu pernah menjadi editor saya di majalah Behind The Screen. Saya tidak heran bila Mas Akmal (begitu saya memanggilnya) mempunyai sedikit kelonggaran dalam masalah obyektifitas jurnalisme, karena beliau juga adalah seorang penulis yang baru saja menerbitkan Imperia,novel pertamanya.
Seorang penulis yang umum ‘bermain-main’ dengan sastra melihat subyektifitas sebagai hal yang biasa. Bahkan subyektifitas sangat berperan dalam ‘menghidupkan’ sebuah karya sastra. Misalnya saja dalam membangun karakter tokoh dengan sudut pandang orang pertama, penulis mempunyai kelebihan untuk mengembangkan sifat-sifat tokohnya lewat subyektifitas, sehingga sisi psikologis dalam tokoh tersebut dapat ditunjukkan dengan lebih detail. JD Salinger adalah salah satu penulis yang sudah membuktikan hal ini lewat novelnya Catcher in the Rye.
Melihat sifat-sifat sastra dan tulisan jurnalistik, meskipun sama-sama menggunakan bahasa sebagai media dan bermain dengan kata-kata, jurnalisme dan sastra adalah dua hal yang berbeda. Salah satu fungsi sastra adalah untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan pengarang dan menggambarkan tentang apa yang ditangkap oleh pengarang tentang kehidupan di sekitarnya (Membaca Sastra. Hlm. 19) sementara tulisan-tulisan jurnalistik fungsi utamanya adalah memberikan informasi. Perbedaan fungsi inilah yang menjadi perbedaan paling signifikan dalam sastra dan jurnalisme, yang dapat dianalisa dalam kadar subyektifitas tulisannya.
Janet Steele melihat gaya menulis naratif yang umum ditemui dalam karya sastra adalah gaya penulisan yang menarik dan tidak membosankan, maka Ia menulis dengan menggunakan teknik penulisan naratif. Pertama dengan menciptakan (menceritakan) kembali adegan demi adegan, agar pembaca dapat membayangkan keadaan yang tengah terjadi. Kedua, memberikan banyak dialog atau kutipan langsung yang panjang dari hasil wawancara sehingga seolah-olah nara sumber yang menceritakan kembali secara langsung. Ketiga, menjelaskan detail-detail baik dengan cara verbal maupun non-verbal. Keempat, dan yang paling menarik, adalah memakai beberapa sudut pandang terutama sudut pandang orang pertama yang kontroversial dalam jurnalistik karena dianggap membangun subyektifitas penulis.
Jurnalisme telah berkembang dari masa ke masa, hingga tidak sekedar hard news surat kabar yang berisi 5W+1H saja yang dapat kita temui. Media cetak kini memiliki bahasanya masing-masing, visi dan misinya masing-masing, juga jargon kebanggaannya masing-masing. Coba saja tengok majalah Cosmopolitan dengan Fun Fearless Female-nya. Terlihat dengan jelas misi di balik majalah ini adalah membentuk wanita mandiri yang menyenangkan (terlepas dari apakah misi ini tercapai atau tidak). Apakah jargon ini bebas dari subyektifitas? Tentu tidak, karena melibatkan keberpihakkan jender. Bila kita membaca artikel-artikel dalam Cosmopolitan lebih dalam, tidak jarang artikel-artikel di dalamnya menggeneralisasi laki-laki. Hal ini terlihat jelas dalam artikel man manual yang menjadi panduan bagaimana wanita harus bersikap terhadap laki-laki (tentu saja yang sifat-sifatnya sudah digeneralisiasi menurut versi Cosmo). Berbeda dengan majalah Cosmopolitan, tulisan yang tercetak di bawah judul harian umum Suara Karya adalah “Kritis. Obyektif. Proporsional. Independen”. Sekali lagi saya menemukan kata “Obyektif” di surat kabar bersifat hard news. Obyektifitas sudah bertahun-tahun menjadi sebuah keharusan dalam artikel bergaya hard news yang mengutamakan berita 5W+1H, sementara dalam penulisan artikel fitur seperti yang umum ditemui di majalah, subyektifitas sudah menjadi hal yang lazim dewasa ini.
Yang menarik dari Janet Steele dalam diskusi bukunya adalah pendapatnya tentang masalah obyektifitas-subyektifitas jurnalisme. Janet Steele percaya bahwa obyektifitas itu tidak pernah ada. “Dalam jurnalisme, obyektifitas adalah metode yang sebaiknya dipakai dalam penulisan. Tapi secara personal, objectivity is imposible,” tuturnya. Meskipun kontroversial dalam ilmu jurnalistik, namun pendapat ini sangat beralasan. Secara logika, tiap individu-tidak terkecuali jurnalis dan penulis-tumbuh dan berkembang dengan latar belakangnya masing-masing. Karakter tiap individu bergantung pada bagaimana Ia dibesarkan, oleh siapa Ia dibesarkan, dan di lingkungan apa Ia tumbuh. Apakah seseorang yang latarbelakang pendidikannya dalam lingkungan pesantren mau manjadi penulis di majalah lifestyle yang menghalalkan alkohol dan kehidupan malam? Apakah seorang feminis rela menjadi jurnalis di majalah pria FHM yang gemar mempertontonkan dada dan paha para wanita berbikini? Dari pemilihan media tempat bekerja seorang jurnalis pun sudah melibatkan subyektifitas dalam dirinya. Bukan tidak mungkin hal ini ditemui dalam diri seorang jurnalis, seperti dalam orientasi pendekatan kritik sastra ekpresif, yang percaya bahwa sebuah tulisan dapat dianalisa bersangkutan dengan latar belakang pengarang.
Terkecuali dalam media cetak yang bersifat hard news seperti surat kabar harian, garis yang membatasi subyektifitas-obyektifitas dalam jurnalisme terbukti semakin tipis. Hal ini menunjukkan adanya semacam ‘akulturasi’ dalam jurnalisme dan sastra, yang akhirnya menghasilkan sebuah gaya reportase jurnalistik seperti yang ditulis oleh Janet Steele. Lalu, apakah doktrin-doktrin obyektifitas dalam jurnalistik sejalan dengan perkembangan jurnalistik dewasa ini? Masihkan obyektifitas menjadi pakem yang wajib dalam jurnalistik? Saya akan membiarkan pembaca mancari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan subyektifitasnya masing-masing.
Fifth Semester
Literature Criticism Class
Mid-term test assignment
Jurnalisme Sastrawi:
Sebuah Sanggahan Terhadap Doktrin Obyektifitas Dalam Jurnalistik
Janet Steele, seorang sejarawan asal Amerika Serikat, baru-baru ini menerbitkan bukunya Wars Within: A Story of Tempo, an Independent Magazine, in Soeharto’s Indonesia. Dosen University of George Washington ini berbicara Bahasa Indonesia dengan sangat fasih dalam diskusi bukunya Kamis, 20 Oktober 2005 lalu di auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Diskusi yang membahas jurnalisme sastrawi ini berisi bagaimana Janet Steele melakukan penelitian dan bagaimana Ia membangun sebuah tulisan yang bersifat naratif dalam sebuah catatan sejarah faktual bergaya investigative journalism. Ketika sesi tanya-jawab dibuka, mencul pertanyaan-pertanyaan menyangkut fakta dan subyektifitas penulis dalam sebuah jurnalisme naratif. Salah satu penanya yang berasal dari sebuah surat kabar terkemuka bahkan mempermasalahkan penggunaan kata ‘konon’ dan ‘kabarnya’ dalam berita investigasi Janet Steele yang dianggap tidak mendukung fakta.
Fakta. Bertahun-tahun sepanjang sejarah jurnalisme dunia, kata ini diagung-agungkan seperti Tuhan. Kata kedua yang juga sama sakralnya adalah “Obyektifitas”. “Jurnalisme harus menyampaikan informasi yang FAKTUAL secara OBYEKTIF! Selepas dari itu, menyalahi kode etik jurnalisme,” demikianlah jargon yang umum saya temui dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik, baik sekedar ekstra kulikuler jurnalistik di sekolah menengah maupun seminar-seminar yang dihadiri oleh para jurnalis pentolan di Indonesia. Sengaja jargon itu saya cetak tebal dan garisbawahi dalam tulisan ini, untuk menekankan betapa hal itu selama bertahun-tahun telah mendoktrin otak saya (dan teman-teman saya yang bercita-cita jadi jurnalis) seperti Hitler mendoktrin pasukan NAZI-nya. “Kalaupun ingin memasukkan subyektifitas, jangan sampai ketahuan. Cukup sedikit saja di akhir untuk memberi bumbu pada artikel,” jelas Akmal Naseri Basral, wartawan majalah Tempo yang dulu pernah menjadi editor saya di majalah Behind The Screen. Saya tidak heran bila Mas Akmal (begitu saya memanggilnya) mempunyai sedikit kelonggaran dalam masalah obyektifitas jurnalisme, karena beliau juga adalah seorang penulis yang baru saja menerbitkan Imperia,novel pertamanya.
Seorang penulis yang umum ‘bermain-main’ dengan sastra melihat subyektifitas sebagai hal yang biasa. Bahkan subyektifitas sangat berperan dalam ‘menghidupkan’ sebuah karya sastra. Misalnya saja dalam membangun karakter tokoh dengan sudut pandang orang pertama, penulis mempunyai kelebihan untuk mengembangkan sifat-sifat tokohnya lewat subyektifitas, sehingga sisi psikologis dalam tokoh tersebut dapat ditunjukkan dengan lebih detail. JD Salinger adalah salah satu penulis yang sudah membuktikan hal ini lewat novelnya Catcher in the Rye.
Melihat sifat-sifat sastra dan tulisan jurnalistik, meskipun sama-sama menggunakan bahasa sebagai media dan bermain dengan kata-kata, jurnalisme dan sastra adalah dua hal yang berbeda. Salah satu fungsi sastra adalah untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan pengarang dan menggambarkan tentang apa yang ditangkap oleh pengarang tentang kehidupan di sekitarnya (Membaca Sastra. Hlm. 19) sementara tulisan-tulisan jurnalistik fungsi utamanya adalah memberikan informasi. Perbedaan fungsi inilah yang menjadi perbedaan paling signifikan dalam sastra dan jurnalisme, yang dapat dianalisa dalam kadar subyektifitas tulisannya.
Janet Steele melihat gaya menulis naratif yang umum ditemui dalam karya sastra adalah gaya penulisan yang menarik dan tidak membosankan, maka Ia menulis dengan menggunakan teknik penulisan naratif. Pertama dengan menciptakan (menceritakan) kembali adegan demi adegan, agar pembaca dapat membayangkan keadaan yang tengah terjadi. Kedua, memberikan banyak dialog atau kutipan langsung yang panjang dari hasil wawancara sehingga seolah-olah nara sumber yang menceritakan kembali secara langsung. Ketiga, menjelaskan detail-detail baik dengan cara verbal maupun non-verbal. Keempat, dan yang paling menarik, adalah memakai beberapa sudut pandang terutama sudut pandang orang pertama yang kontroversial dalam jurnalistik karena dianggap membangun subyektifitas penulis.
Jurnalisme telah berkembang dari masa ke masa, hingga tidak sekedar hard news surat kabar yang berisi 5W+1H saja yang dapat kita temui. Media cetak kini memiliki bahasanya masing-masing, visi dan misinya masing-masing, juga jargon kebanggaannya masing-masing. Coba saja tengok majalah Cosmopolitan dengan Fun Fearless Female-nya. Terlihat dengan jelas misi di balik majalah ini adalah membentuk wanita mandiri yang menyenangkan (terlepas dari apakah misi ini tercapai atau tidak). Apakah jargon ini bebas dari subyektifitas? Tentu tidak, karena melibatkan keberpihakkan jender. Bila kita membaca artikel-artikel dalam Cosmopolitan lebih dalam, tidak jarang artikel-artikel di dalamnya menggeneralisasi laki-laki. Hal ini terlihat jelas dalam artikel man manual yang menjadi panduan bagaimana wanita harus bersikap terhadap laki-laki (tentu saja yang sifat-sifatnya sudah digeneralisiasi menurut versi Cosmo). Berbeda dengan majalah Cosmopolitan, tulisan yang tercetak di bawah judul harian umum Suara Karya adalah “Kritis. Obyektif. Proporsional. Independen”. Sekali lagi saya menemukan kata “Obyektif” di surat kabar bersifat hard news. Obyektifitas sudah bertahun-tahun menjadi sebuah keharusan dalam artikel bergaya hard news yang mengutamakan berita 5W+1H, sementara dalam penulisan artikel fitur seperti yang umum ditemui di majalah, subyektifitas sudah menjadi hal yang lazim dewasa ini.
Yang menarik dari Janet Steele dalam diskusi bukunya adalah pendapatnya tentang masalah obyektifitas-subyektifitas jurnalisme. Janet Steele percaya bahwa obyektifitas itu tidak pernah ada. “Dalam jurnalisme, obyektifitas adalah metode yang sebaiknya dipakai dalam penulisan. Tapi secara personal, objectivity is imposible,” tuturnya. Meskipun kontroversial dalam ilmu jurnalistik, namun pendapat ini sangat beralasan. Secara logika, tiap individu-tidak terkecuali jurnalis dan penulis-tumbuh dan berkembang dengan latar belakangnya masing-masing. Karakter tiap individu bergantung pada bagaimana Ia dibesarkan, oleh siapa Ia dibesarkan, dan di lingkungan apa Ia tumbuh. Apakah seseorang yang latarbelakang pendidikannya dalam lingkungan pesantren mau manjadi penulis di majalah lifestyle yang menghalalkan alkohol dan kehidupan malam? Apakah seorang feminis rela menjadi jurnalis di majalah pria FHM yang gemar mempertontonkan dada dan paha para wanita berbikini? Dari pemilihan media tempat bekerja seorang jurnalis pun sudah melibatkan subyektifitas dalam dirinya. Bukan tidak mungkin hal ini ditemui dalam diri seorang jurnalis, seperti dalam orientasi pendekatan kritik sastra ekpresif, yang percaya bahwa sebuah tulisan dapat dianalisa bersangkutan dengan latar belakang pengarang.
Terkecuali dalam media cetak yang bersifat hard news seperti surat kabar harian, garis yang membatasi subyektifitas-obyektifitas dalam jurnalisme terbukti semakin tipis. Hal ini menunjukkan adanya semacam ‘akulturasi’ dalam jurnalisme dan sastra, yang akhirnya menghasilkan sebuah gaya reportase jurnalistik seperti yang ditulis oleh Janet Steele. Lalu, apakah doktrin-doktrin obyektifitas dalam jurnalistik sejalan dengan perkembangan jurnalistik dewasa ini? Masihkan obyektifitas menjadi pakem yang wajib dalam jurnalistik? Saya akan membiarkan pembaca mancari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan subyektifitasnya masing-masing.