Pieces of Thoughts

This is a blog to publish my academic works(essays, paper, etc) during my study in English Studies University of Indonesia 2003-200?. I made a lot of essays and papers both in English and Indonesian,and I feel such a waste if the papers and essays I've made ended in a trash can.Instead of just letting it abandoned on my desk,I choose to share. You are free to read(please mind my grammatical and spelling errors,those are my major weaknesses in English),quote,as long as the source is entitled.

My Photo
Name:
Location: Anywhere on earth

I'm a fountain of blood in a shape of a girl. My life is a poetry and my world is writing.

Monday, May 29, 2006

In "Feminist Philosophy" class with Mrs. gadis Arivia, I failed my 1st paper and i was told to make the revision. This is the revision of my paper. i don't know the mark i get, but it is indeed quite hard for me inmaking this papre since I'm not used to write paper on philosophy. However, I love this class! I really enjoy every part of it!
The Feminine Mystique:
American Dreams Bukan Mimpi Yang Sempurna


Setelah perang dunia ke-2 di Amerika Serikat, muncul sebuah fenomena budaya dimana anggapan masyarakat tentang kehidupan yang sempurna adalah ketika seorang perempuan dan laki-laki hidup berkeluarga dan tinggal di daerah suburban kota, dengan satu atau dua anak. Kebahagian seorang perempuan seolah ditentukan dengan adanya pernikahan dan adanya anak, bagi mereka yang tidak memiliki anak atau belum menikah dianggap sebagai perempuan yang ‘tidak lengkap’. Perempuan jadi mempunyai tujuan hidup yang sudah ditentukan oleh masyarakat lewat sebuah konstruksi sosial, yaitu menikah lalu menjadi istri dan ibu yang baik. Fenomena seperti ini disebut dengan ‘The American Dreams’ yaitu mimpi, harapan, dan pandangan masyarakat Amerika tentang apa yang dianggap kehidupan yang sempurna. Mimpi tentang kesempurnaan kehidupan berkeluarga yang muncul di Amerika ini kemudian dikritik oleh Betty Friedan lewat bukunya The Feminine Mystique, yang mana istilah Feminine Mystique mengacu pada ideologi perempuan-perempuan Amerika yang merasa satu-satunya cara mencapai kebahagiaan adalah dengan menikah dan mempunyai anak[1].

Kehidupan sempurna seperti yang diimpikan dalam American Dreams tidak hanya ditemui di Amerika pada masa setelah perang dunia ke-2, tetapi saat ini nyaris di semua belahan dunia negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak dari perempuan Indonesia pun masih mengganggap pernikahan sebagai sebuah tujuan hidup, bahkan dalam Islam diajarkan bahwa menikah adalah suatu ibadah dan kewajiban. Ada nilai-nilai yang diciptakan masyarakat lewat kebudayaan dan cara pandang yang dibangun dalam sebuah kebudayaan yang bertahan selama berabad-abad yang dihidupkan oleh ajaran-ajaran agama. Termasuk di Indonesia, perempuan dinyatakan mempunyai ‘kodrat’ untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik, seolah-olah tidak ada pilihan lain bagi perempuan dalam hidupnya. Terlebih lagi, seolah-olah menikah dan mempunyai anak adalah satu-satunya jalan kebahagiaan bagi perempuan.

Namun muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut; apakah perempuan tidak mempunyai pilihan lain dalam hidupnya selain menjadi seorang ibu dalam keluarga kecil yang bahagia? Apakah kebahagian seorang perempuan dapat ditentukan oleh masyarakat lewat hal-hal yang dinyatakan kodrati? Apakah identitas seorang perempuan cukup hanya seagai seorang istri dan atau ibu? Betty Friedan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat The Feminine Mystique dan menggugat konsep kesempurnaan di balik American Dream dengan sangat kritis. Friedan mengkritik American Dreams lewat dua aspek utama: sosial dan psikologis.

Dalam permasalah sosial American Dreams, Friedan menganggap adanya American Dreams yang dipopulerkan lewat majalah, pendidikan, iklan-iklan televisi, dan lain-lain adalah alat untuk mencuci otak perempuan atas peran-peran sosial yang harus dijalankan perempuan. Yang pertama adalah mengembalikan perempuan pada tempatnya bekerja ‘di dapur’ setelah semasa perang dunia ke-2 perempuan menguasai pekerjaan-pekerjaan pabrik agar laki-laki dapat kembali memiliki lahan pekerjaan setelah perang. Kedua, perempuan sebagai alat (konsumen) untuk mendukung kemajuan produk-produk rumah tangga di Amerika, sehingga memajukan perekonomian Amerika Serikat pasca perang.[2] Seperti apa yang dikemukakan Friedan; “In the fifteen years after World War II, this mystique of feminine fulfillment became the cherished and self-perpetuating core of contemporary American culture”[3] Dengan kembalinya perempuan bekerja ‘di dapur’ dan sebagai konsumen utama produk-produk rumah tangga baru yang populer di Amerika, maka perempuan sudah membantu melancarkan peranan-peranan sosial yang berlaku dalam masyarakat Amerika pada masa itu.

Selain kritik Friedan bahwa perempuan sudah diperalat sebagai alat untuk melengkapi pakem-pakem peranan sosial di Amerika, Friedan juga menekankan permasalahan prikologis perempuan lewat Feminine Mystique. Dikemukakan oleh Friedan bahwa banyak perempuan Amerika kehilangan arti hidupnya setelah menikah dan mengalami depresi berat. Hal ini dikarenakan, menurut Friedan, bahwa perempuan setelah menikah tidak lagi mempunyai obsesi dan tujuan hidup. Perempuan tidak lagi ‘mengejar’ suatu cita-cita karena ‘cita-cita’ yang ada dalam American Dream sudah tercapai, yaitu menjadi seorang istri dan ibu. Namun, Friedan mengemukakan bahwa rutinitas yang dihadapi oleh perempuan-perempuan itu membawa mereka pada kekosongan, sehingga ada kecenderungan untuk melarikan diri dari rutinitas atau berdiam diri di rumah dan mengalami depresi. Hal ini menunjukkan bahwa cita-cita atau tujuan perempuan yang hanya sebagai istri atau orang tua tidaklah cukup untuk membahagiakan perempuan.

Perempuan telah menjadi alat kebahagian, bukan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya diimpikan mereka, tetapi memberikan kelengkapan kebahagian bagi anak-anak dan suaminya. Hal ini ditunjukkan seorang perempuan dengan menjaga rumah agar tetap bersih dan indah, sementara anak-anaknya sekolah dan suaminya bekerja. Seorang perempuan dalam peranannya sebagai istri menurut American Dreams adalah menyiapkan dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya, seperti pakaian, bekal makanan, vitamin, dan lain-lain. Dengan catatan, untuk menjaga kelangsungan kebahagiaan keluarganya. Namun hal ini menjadikan perempuan melupakan kebahagiaannya sendiri. Hal ini disebut Friedan sebagai ‘masalah tanpa nama’ (the problem that has no name)[4]
Masalah identitas juga dikemukakan Friedan sebagai masalah psikologis perempuan; identitas perempuan sebagai seorang istri dan ibu adalah identitas perempuan sebagai pelengkap kebahagiaan, namun perempuan pada pada masa itu mengalami kekosongan dan eksistensinya sebagai seorang individu yang berarti tidaklah ada. Setelah menikah, seorang perempuan kehilangan identitasnya sebagai seorang pribadi, namun identitasnya beralih menjadi pelengkap keluarga, pendamping suami, dan ibu dari seorang anak. Perempuan kehilangan identitasnya sebagai seorang pribadi yang apa adanya, utuh tanpa pelengkap, dan idependen.

Selain menyalahkan media karena telah mencuci-otak perempuan-prempuan Amerika pada masa itu, Friedan juga melihat adanya peranan pendidikan dalam membiarkan ideologi ini tambah subur. Pendidikan dalam universitas lebih banyak menekankan agar perempuan siap untuk hidup di areal wilayah domestik tanpa memperdulikan kepandaian atau keahlian perempuan di bidang-bidang tertentu[5]. Film Monalisa Smile adalah contoh sebuah karya fiksi yang menunjukkan bagaimana perempuan pada masa itu diarahkan oleh pendidikan untuk berpikiran bahwa yang paling utama dalam kehidupan adalah mengejar American Dreams, dan bagaimana seorang guru yang berjiwa feminis berusaha mematahkan konvensi-konvensi tersebut yang ada dalam masyarakatnya.

Friedan prihatin dengan anggapan masyarakat pada masa itu yang melihat perempuan yang memberontak dari konstruksi ini sebagai korban dari pendidikan sehingga pendidikan dianggap sebagai penghancur feminitas perempuan:
It is not a matter of loss of feminity or too much education, or the demands of domesticity, It is far more important than anyone recognizes. It is the key to these other new and old problems which have been torturing women and their husbandand children for years. It may well be the key to our future as a nation and a culture.[6]

Melainkan, Friedan melihat bahwa hal ini merupakan permasalahan budaya yang tidak boleh ditinggalkan, karena bila permasalahan ini lebih diperhatikan, maka akan membawa Amerika ke arah yang lebih baik.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah; apakah benar Femninine Mystique berhasil membebaskan pikiran sepenuhnya dari belenggu patriarki? Untuk membebaskan diri dari konstruksi sosial yang patriarkhis tidak cukup hanya dengan The Feminine Mystique. Namun The Feminine Mystique pada masa itu dapat dikategorikan sebagai salah satu buku kontroversial yang berhasil mengupas permasalahan ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak pernah dilihat sebagai masalah yang serius. Hingga saat ini, The Feminine Mystique berhasil menyuarakan feminisme dalam bentuk permasalahan mendasar kehidupan, bahwa identitas dan obsesi hidup perempuan tidak hanya sekedar menjadi happy homemaker. Perempuan harus dapat bangkit dan mencari jati dirinya bukan hanya sebagai pelengkap hidup orang lain, tetapi juga melengkapi dirinya sendiri dengan cita-cita dan obsesi yang terbebas dari kewajiban-kewajiban rumah tangga yang terbentuk dari konstruksi sosial yang patriarkhis. Lewat The Feminine Mystique, Friedan juga berhasil mengupas permasalahan yang tidak pernah dilihat oleh orang lain sebelumnya. Friedan berhasil menunjukkan bahwa perempuan mempunyai banyak pilihan-pilihan lain selain menikah. Feminine Mystique merupakan langkah awal yang tepat untuk memulai pergerakan feminisme, yaitu dengan menggugat konstruksi sosial kesempurnaan American Dreams. Friedan berhasil menunjukkan bahwa American Dreams bukanlah suatu hal yang sempurna dan kodrati, melainkan sebagai suatu konstruksi yang diciptakan oleh masyarakat.

Daftar Pustaka

Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.

Barker, Clive. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Kreasi Wacana, Yogyakarya, 2004.

“Betty Friedan”. Microsoft Encarta Encyclopedia. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Friedan, Betty. “The Feminine Mystique” Bahan Ajar Paradigma Feminis S1” Disusun oleh Gadis Arivia.

Tong, Rosemary Putnam. Feminist Thought. Terj. Aquarini Priatna Prabasmoro. Jalasutra, Yogyakarta,1998.

“Women Rights Movement”. Microsoft Encarta Encyclopedia. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.

[1] “The Feminine Mystique”. Bahan Ajar Paradikma Feminis S1. Disusun oleh Gadis Arivia. Hlm. 48-49.
[2] Ibid. Hlm 49.
[3] Ibid. Hlm 53.
[4] Ibid. Hlm 54.
[5] Ibid. Hlm 58.
[6] Ibid. Hlm 67.

Hi... it's been a long time! This is my mid term paper for "Film Sastra" class... I got 80 for this, which is an "A" already, yet there are some notes from the lecturer that I actually should rewrite in some part. So please consider this as an unperfect "A". Butr if u really interested in Anthony Kubrick's visualisation of Burgess' A Clockwork Orange... you should read this essay. I made in in a hurry, so the language is a little bit messy, so sorry about that.. :)



A Clockwork Orange:
Interpretasi Visual Yang Memperindah Kekerasan



Kekerasan juga bisa disajikan secara indah, hal inilah yang ingin ditunjukkan dalam film A Clockwork Orange yang diangkat dari novel karya penulis Inggris Anthony Burgess. Meskipun bukan karya favoritnya, A Clockwork Orange adalah novel Antony Burgess yang paling melambungkan namanya. Diterbitkan pertama kali tahun 1962, A Clockwork Orange bercerita tentang Alex yang terobsesi dengan ultra-violence[1], aksi pemerkosaan, dan Beethoven the ninth symphony. Dalam melakukan segala aksi amoralnya demi memuaskan diri sendiri, Alex sebagai pemimpin ditemani oleh Dim, Pete, dan Georgie. Alex kemudian dikhianati oleh ketiga temannya dan dijebak hingga tertangkap oleh polisi dan dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah, ia harus menjalani serangkaian cuci otak untuk menghapus semua ketertarikannya pada hal-hal amoral dan lagu Beethoven yang ia sukai. Percobaan ini membuat Alex menjadi sangat menderita setiap mendengarkan lagu Beethoven, tidak berdaya untuk melakukan kekerasan, dan tidak bisa menyentuh tubuh wanita lagi. Alex kehilangan haknya atas kehendak bebasnya sebagai seorang manusia. Karena sangat menderita dari hasil cuci otak, ia mencoba untuk bunuh diri namun gagal. Aksi bunuh diri ini menjatuhkan nama pemerintah, Alex menjadi kelinci percobaan yang dikasihani oleh masyarakat, hingga akhirnya pemerintah ‘menyuap’ Alex untuk bekerja sama membantu mengembalikan nama baik pemerintah. Dalam versi novel, pengaruh cuci otak Alex menghilang setelah percobaan bunuh diri, Alex kembali menjadi seseorang yang amoral dan kembali mendengarkan Beethoven The Ninth Symphony. Namun, setelah Alex bertemu dengan Pete, teman lamanya yang sudah menikah dan hidup bahagia, Alex menyadari kedewasaannya dan juga memutuskan untuk menikah dan punya anak. Pesan terakhir yang diberikan Alex dalam novel adalah bahwa bila ia mempunyai anak yang nantinya juga akan bersikap amoral seperti dirinya, ia tidak akan pernah bisa menghentikannya karena anaknya pun juga seorang manusia yang memiliki kehendak bebasnya. Nama Alex sendiri diambil dari nama Anglo-Russo-American yang berarti tidak mengenal hukum (A: tidak atau tanpa, lex: hukum)[2]

Novel ini mengambil setting masa depan tanpa tahun yang jelas dan melibatkan sains dalam plot, sehingga dapat dikategorikan ke dalam genre fiksi ilmiah (science fiction)[3]. Judul A Clockwork Orange diambil dari istilah asli London “as queer as a clockwork orange” yang artinya sesuatu yang ajaib dari ‘dalam’ seseorang namun dapat terlihat seperti manusia normal. Clockwork sendiri berarti sesuatu yang berjalan secara mekanik seperti robot, dan orange merupakan simbolisasi dari manusia yang tampak ranum dan segar[4]. Kata Orange sengaja dipakai oleh penulis karena kemiripannya dengan kata ‘orang’ dalam bahasa Malay[5], sehingga A Clockwork Orange juga berarti manusia (orang) yang bersifat mekanis seperti mesin.

A Clockwork Orange menurut majalah Times adalah salah satu dari 100 novel terbaik di abad 20. Ada empat hal yang menjadikan novel ini istimewa. Pertama, Anthony Burgess berhasil menciptakan serangkaian bahasa slang baru yang disebut nadsat untuk menggambarkan kehidupan anak muda yang dinamis, yaitu campuran dari bahasa Inggris (British) dan Rusia. Kedua, novel ini mengangkat tema pertentangan antara kehendak bebas manusia dengan moralitas yang merupakan kritik sosial masyarakat yang penuh dengan kekerasan. Ketiga, cara penulisan novel yang sangat terstuktur dan terencana[6]. Keempat, kelugasan penggambaran ultra-violence yang berhasil menjadi terobosan pada masa itu.

Pada tahun 1971, Stanley Kubricks, salah satu sutradara yang paling diakui Hollywood akan kemampuannya dalam memvisualisasi adegan kekerasan sebagai sarana kritik sosial, mengangkat novel kontroversial ini ke layar lebar. Film A Clockwork Orange pada akhirnya tidak hanya mengangkat popularitas Anthony Burgess dan Stanley Kubricks, tetapi juga mendapatkan banyak penghargaan dan nominasi Academy Awards.

A Clockwork Orange adalah sebuah karya yang dikenal dengan banyaknya adegan kekerasan. Dengan membandingkan novel dan filmnya, kita dapat menemukan satu keunikan dari hubungan film dan novel A Clockwork Orange, yaitu visualisasi ultra-violence. Ada dua hal penting dalam visualisasi ultra-violence ala Kubrick yaitu: (1) menggambarkan adegan ultra-violence dari novel ke layar lebar secara teaterikal lewat keindahan gerak dan bahasa, tanpa mengurangi “kerasnya” adegan ultra-violence sehingga lewat film ini kekerasan ditunjukkan sebagai suatu adegan yang mempunyai nilai estetika, (2) dan perbedaan ending pada novel dan film yang memberi kesan akhir yang sama sekali berbeda.

Pertama-tama, mari kita lihat sifat teaterikal yang dapat ditemukan dalam film A Clockwork Orange. Teaterikal, menurut The Little Oxford Dictionary (Oxford University Press, sixth edition, 1987) adalah sebuah bentuk yang berhubungan dengan teater dan akting, atau sebuah pertunjukan yang mengalami dramatisasi. Maka pengertian dari visualisasi kekerasan secara teaterikal yang saya maksud adalah penampilan adegan kekerasan yang mengalami dramatisasi lewat keindahan gerak dan keindahan bahasa.

Dari banyak adegan kekerasan yang ditampilkan secara teaterikal oleh Kubrick, ada empat adegan yang gaya teraterikalnya paling jelas ditampilkan terutama dari segi keindahan gerak, yaitu: adegan pemerkosaan seorang perempuan oleh sebuah kelompok saingan Alex (Billyboy), adegan kelompok Alex berkelahi dengan kelompok Billyboy, adegan Alex menendang Mr. Alexander, dan adegan Alex berkelahi dengan ketiga temannya.

Adegan pemerkosaan dibuka dengan suara biola yang memainkan lagu klasik bertempo cepat, kemudian kamera mengambil long shot yang bergerak panning mengekspos setting gedung teater yang terbengkalai, menyorot bagian panggung. Di atas panggung terdapat seseorang perempuan yang berusaha menyelamatkan diri dari kelompok saingan Alex yang dipimpin oleh Billyboy yang sedang berusaha melakukan pemerkosaan atas dirinya. Gerakan seorang perempuan yang berayun kesana-kemari diikuti oleh sekelompok laki-laki di atas sebuah panggung teater diiringi lagu klasik yang relatif bernuansa lucu tidak membuat adegan ini terlihat seperti adegan pemerkosaan, melainkan seolah seperti tarian atau pertunjukkan teater musikal. Hal ini menunjukkan adanya dramatisasi ke dalam bentuk yang sangat teaterikal dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Kubrick dengan nenonjolkan keindahan gerak tari pada adegan ini. Pada novel yang ditulis oleh Burgess, setting adegan ini bukanlah di panggung teater melainkan di tempat yang bernama Municipal Power Plant[7]. Hal ini menunjukkan bahwa Kubrick ingin menempatkan unsur-unsur teaterikal dengan memasukkan setting panggung teater, musik klasik, dan gerakan-gerakan yang menyerupai tarian ke dalam visualisasi kekerasan dalam interpretasinya terhadap A Clockwork Orange.

Adegan ini dilanjukan dengan bentrokan antara kelompok Billyboy dengan kelompok Alex. Dalam novel, digambarkan sebuah perkelahian selayaknya sebuah perkelahian antar geng dimana mereka saling berkelahi dengan senjata yang mereka pegang masing-masing. Namun Kubrick menambahkan keindahan adegan perkelahian ini dengan diiringi musik klasik, dan adegan perkelahian dibuat slapstick dengan adanya adegan orang yang beterbangan di udara, dengan gerakan slow-motion. Hal ini merupakan sebuah dramatisasi dari apa yang ditulis di novel sehingga film tampak lebih tidak realistis, namun hal ini juga yang menjadikan adegan ini tampak istimewa, sama dengan adegan sebelumnya, yaitu dengan memadukan kekerasan dengan musik klasik.

Adegan berikutnya yang juga mengandung unsur teraterikal adalah adegan ketika Alex menendang Mr. Alexander sambil menyanyikan lagu Singing in The Rain. Alex menendang Mr. Alexander sambil melakukan semacam tarian yang secara ritmik dengan lagu yang ia nyanyikan diikuti tendangan demi tendangan ke tubuh Mr.Alexander. Lagu Singing in The Rain yang dinyanyikan Alex pada film tidak ada dalam novel. Ini juga merupakan sebuah dramatisasi dari interpretasi yang dilakukan Kubrick untuk menambahkan nuansa slapstick dengan gerak tari dan lagu yang dinyanyikan oleh Alex.

Adegan lain yang juga menunjukan unsur teaterikal adalah adegan ketika Alex berkelahi dengan ketiga temannya di samping sebuah kolam. Adegan ini lagi-lagi dimulai dengan musik klasik yang mengalun mengiringi gerakan slow-motion Alex memukul Georgie dan mendorongnya ke dalam kolam. Alex kemudian juga mendorong Dim ke dalam kolam dan menggores tangannya dengan belati. Sepanjang adegan ini diiringi dengan musik klasik dan slow-motion untuk menekankan pentingnya adegan ini dan memberikan keindahan gerak dalam sebuah adegan kekerasan.

Selain adegan-adegan kekerasan yang diwarnai dengan keindahan gerak, keindahan bahasa yang ada dalam novel dan film juga bersifat teaterikal. Hal ini dapat dilihat dari perpaduan bahasa Nadsat dan gaya berbicara yang menyerupai drama. Gaya berbicara yang menyerupai gaya bahasa dalam drama ditunjukkan dengan bagaimana Alex, sebagai narator dengan sudut pandang orang pertama, menyebut dirinya sendiri dengan sebutan “Your Humble Narrator” dan memberi kesan kedekatan kepada para pembaca atau penonton dengan memanggil “O’ my brothers”. Hal ini menjadikan posisi Alex seolah sebagai seorang narator dalam sebuah pementasan drama yang menceritakan bagaimana jalan kisahnya. Contoh lain adalah bahasa yang digunakan dalam film yang sangat bernuansa teaterikal, seperti ketika Alex mengagumi keindahan lagu Beethoven:
Oh bliss! Bliss and heaven! Oh, it was gorgeousness and gorgeousity made flesh. It was like a bird of rarest-spun heaven metal or like silvery wine flowing in a spaceship, gravity all nonsense now. As I slooshied, I knew such lovely pictures!” – Alex (Listening to Beethoven’s Ninth Symphony)

Dalam novel juga bagian ini bergaya bahasa selayaknya sebuah drama, hanya saja versi film lebih sederhana dari pada versi novel berikut:
Oh, bliss, bliss and heaven. I lay all nagoy to the ceiling, my gooliver on my rookers on the pillow, glazzies closed, rot open in bliss, slooshying the sluice of sounds. Oh, it was gorgeousness and gergeosity made flesh […] Oh, it was wonder of wonders […] I was in such bliss, my brothers [Hlm. 26]

Di dalam novel, penggunaan bahasa nadsat lebih banyak dari pada dalam film. Misalnya kata gooliver (head), rookers (hand), glazzies (eyes), slooshy (to hear), dan lain-lain. Hal ini merupakan salah satu kelebihan novel bila dibandingkan dengan film, bahwa novel lebih kaya secara linguistik. Namun hal ini dapat dikatakan wajar, mengingat hal utama yang harus dimiliki sebagai kekuatan sebuah film adalah visualisasi dari apa yang ditulis di novel. Dalam film adegan ini digambarkan dengan voice over narration oleh Alex sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Alex menggambarkan keindahan lagu Beethoven dengan penuh gaya bahasa, selayaknya gaya bahasa yang dapat ditemukan dalam drama. Hal ini menunjukkan kemiripan gaya bahasa yang digunakan dalam drama dengan A Clockwork Orange. Bahasa menjadi kekuatan dan salah satu kelebihan A Clockwork Orange, yang melengkapi adegan-adegan kekerasan yang ada di dalamnya dengan keindahan bahasa. Hal ini merupakan upaya jelas dari pengarang dan sutradara dalam memberikan warna yang indah dalam sebuah film yang penuh kekerasan lewat unsur-unsur teaterikal.

Hal lain yang juga dilakukan oleh Kubrick dalam menginterpretasi novel A Clockwork Orange ke dalam film adalah perbedaan ending dari novelnya. Kubrick memutuskan untuk tidak memasukan bab terakhir dari novel, yaitu bab 21 ke dalam film yang bercerita tentang optimisme Alex yang pada akhirnya memiliki niat untuk menjadi dewasa dan berubah. Dalam film, ending cukup sampai adegan dimana Alex memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Kalimat yang terakhir diucapkan Alex adalah voice over narration “I was cured all right” yang meninggalkan kesan ironi yang dalam. Ironi dibangun karena adegan terakhir yang ditampilkan adalah adegan Alex yang sedang ‘berandai-andai’ kembali dapat melakukan aksi pemerkosaan terhadap seorang perempuan, kemudian terdapat narasi dari dirinya yang menyatakan bahwa ia benar-benar sudah sudah sembuh. Berbeda dengan novel yang meninggalkan kesan optimis di akhir cerita, Kubrick memutuskan untuk membiarkan penonton dengan akhir yang ironis, seolah-olah Alex tidak akan pernah bias sembuh, tentu saja hal ini kembali sebagai sebuah dramatisasi cerita sehingga mendukung keseluruhan konsep ironi keindahan dalam visualisasi kekerasan yang ditampilkan Kubrick.

Dengan memasukkan unsur-unsur teaterikal ke dalam interpretasinya, Kubrick menyajikan sebuah film yang penuh dengan adegan kekerasan namun tetap memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan gerak dalam film, alunan musik, dan bahasa yang digunakan adalah unsur-unsur teaterikal yang mampu memberikan keindahan dari adegan-adegan yang vulgar dan penuh kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa sadisme kekerasan yang seringkali secara visual mengganggu bagi banyak orang, dapat menjadi suatu adegan yang kaya akan nilai-nilai estetika bila disajikan dengan visualisasi yang indah, yaitu dengan memasukkan unsur-unsur teaterikal ke dalamnya. Melihat keunikan sajian visual dan bahasa yang dimiliki film dan novel A Clockwork Orange, maka tidak heran bila A Clockwork Orange disebut sebagai salah satu karya terbaik di abad 20.

Daftar Pustaka
“A Clockwork Orange” 20/04/06 http://www.sparknotes.com/lit/clockworkorange/section22.rhtml


“Anthony Burgess” Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft co, 2004

“A Clockwork Orange” Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft co, 2004

“A Clockwork Orange” 20/04/06. http://www.filmsite.org/cloc.html

A Clockwork Orange, Motion Picture. Dir. Stanley Kubrick. Warner Bros, 1971.
Burgess, Anthony. A Clockwork Orange. London: Pinguin Classic, 2000.
Little Oxford Dictionary, The. Oxford University press, sixth edition 1986
Morisson, Blake. Introduction. A Clockwork Orange. London: Pinguin Classic, 2000.
“Science Fiction” Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft co, 2004
“Stanley Kubrick” Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft co, 2004
“Theater” Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft co, 2004
“Ultra Violence” 20/04/06. http://en.wikipedia.org/wiki/ultra-violence


[1] Ultra-violence adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Anthony Burgess lewat novel ini. Ultra-violence mengacu pada kekerasan yang dilakukan pada orang-orang yang tidak berdaya, seperti ketika Alex menyerang gelandangan tua renta (A Clockwork Orange. Pinguin Classics, 2000. Hlm 12) – “Ultra-Violence” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ultra-violence
[2] Morisson, Blake. Introduction. A Clockwork Orange, Anthony Burgess. Pinguin Classics, 2000. Hlm ix.
[3] Science Fiction: Imaginative fiction based on postulated scientific discoveries (The Little Oxford Dictionary, Oxford University press, sixth edition 1986), genre of fiction sets in imaginary time or place (“Science Fiction” Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004)
[4] http://www.filmsite.org/cloc.html
[5] Anthony Burgess pernah menetap di Malaysia tahun 1954-1959 pada masa kolonialisme Inggris di Malaysia.
[6] Novel A Clockwork Orange versi terbitan Inggris terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terdiri dari tujuh bab. Bagian I dan bagian III bercerita tentang nasib Alex yang saling berbalik satu sama lain, sementara bagian II adalah masa titik balik kehidupan Alex. Keteraturan pembagian plot ini menunjukkan bahwa proses kreatif novel ini melalui perencanaan yang sangat matang. (http://www.sparknotes.com/lit/clockworkorange/section22.rhtml)
[7] Burgess, Anthony. A Clockwork Orange. Pinguin Classics, 2000. Hlm 13.